
Meugang atau hari makan daging sapi dan
kerbau, adalah tradisi yang selalu dilakukan oleh warga Aceh dua hari atau
sehari sebelum Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Pada hari Meugang itu, warga Aceh berbondong-bondong
membeli daging sapi di pasar daging yang lahir dadakan sehari sebelum ramadhan
yang berjejeran di pinggir jalan atau di tempat umum yang telah disediakan
khusus untuk hari Meugang.
Daging sapi tersebut lalu dimasak di setiap
rumah warga, untuk dimakan bersama seluruh sanak keluarga keluarga. Sebagian
pada hari itu juga warga mengundang anak yatim ke rumahnya untuk makan daging
sapi bersama. Tradisi ini masih sangat melakat dengan warga Aceh.
Bagi warga Aceh, bila pada hari Meugang tidak
membeli daging sapi dan makan bersama anggota keluarga merasa sedih, maka
jangan heran pada hari Meugang semua warga Aceh makan daging sapi dengan
masakan kuah merah, rendang dan daging panggang.
Tradisi ini pula yang memicu harga daging
menjelang Ramadhan naik drastis. Pada hari-hari biasa harga daging Rp80 ribu
hingga Rp90 ribu perkilogram, maka pada hari Meugang melonjak mencapai Rp140
ribu hingga Rp160 ribu perkilogram.
Badruzzaman Ismail Ketua Majelis Adat Aceh
mengatakan, Meugang merupakan sebuah tradisi yang sudah sangat melekat di
masyarakat Aceh. Ini sudah menjadi wadah membangun hubungan kekeluargaan dalam
kontek Islami.
Sebab itu, tak sedikit pada hari Meugang,
warga Aceh yang merantau ke tempat lain pulang ke kampung halaman untuk
menikmati daging Meugang masakan ibunya atau istri.
“Sedih rasanya kalau pada hari Meugang itu
tidak makan masakan ibu kandung kita sendiri atau masakan istri kita sendiri,
begitu dekat hubungan keluarga pada hari itu,” kata Badruzzaman.
Serasa Aib
Pada zaman dulu, masyarakat Aceh menganggap
makan daging ini sebagai makanan yang sangat mewah. Selain hari Meugang,
masyarakat hampir tidak pernah makan daging.
Dalam tradisi masyarakat Aceh, menyambut
Ramadan harus dalam pesta besar dan berkumpul semua anggota keluarga sehingga
dilahirlah hari Meugang.
Sehari menjelang Meugang, warga di perantuan
sudah berkumpul di rumah, tidak boleh mengirim uang untuk membeli daging tapi
harus pulang dan membawa daging untuk orang tua. Hari Meugang tanpa membeli
atau makan daging rasanya tak lengkap, bahkan bagai aib. Kaya miskin seakan
wajib memilikinya.
Bila di satu desa diketahui oleh warga, ada
orang miskin yang tidak tidak mampu membeli daging pada hari Meugang, kepala
desa dan penduduk desa tersebut akan mengumpulkan uang secara patungan agar
semua warganya bisa menikmati daging dihari Meugang.
Meski sekarang masyarakat sudah sering makan
daging, tapi beda rasanya dengan daging saat Meugang. Bahkan jika ada anggota
keluarga belum pulang ke rumah, orang tua belum tenang meski anggota keluarga
lain sudah berkumpul semua.
“Yang dilakukan ini untuk membangun
silaturahmi dengan anggota keluarga makan bersama juga berkesempatan untuk menyantuni warga miskin dan anak yatim
yang tidak mampu membeli daging,” katanya.
Sejak Sultan Iskandar
Tradisi Meugang ini sudah lahir sejak masa
Sultan Iskandar Muda memimpin Aceh. kala itu, sebulan sebelum Meugang kepala
desa sudah menerima surat untuk mendata warga miskin di desa masing-masing.
Berdasarkan yang telah dikumpulkan itu Sultan
mengirimkan uang untuk membeli sapi untuk warga miskin.
Lambat laun, Meugang menjadi tradisi bagi
masyarakat Aceh yang mayoritas Islam. Meski modelnya berbeda dengan masa
Kesultanan, makna terkandung di baliknya sama.
Perayaan ini juga bagian dari kegembiraan
menyambut Ramadhan. Jauh hari sebelumnya, warga sudah menyiapkan persiapan
untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang rahmat
SEJARAH MEUGANG DI TANAH RENCONG
Reviewed by Unknown
on
1:01 PM
Rating:

No comments: