Pocut Baren, putri uleebalang Teungkop, Teuku
Cut Amat satu diantara sekian wanita Aceh yang tercatat sejarah sebagai pejuang
tangguh. Namanya tercatat dalam Prominent Women in The Glimpse of History.
![]() |
Pocut Baren Pahlawan Wanita Aceh |
Selain Teungkop, federasi Kaway XII juga
meliputi Pameu, Geumpang, Tangse, Anoe, Gume. Setelah tahun 1922 keulebalangan
Teungkop dimasukkan ke dalam onderafdeling Meulaboh bersama daerah lainnya
seperti Woyla, Bubon, Lhok Bubon, Kaway XVI, Seneueam, Beutong dan Pameu.
Menurut Hoesin Djajaninggrat dalam Atjehsch
Nederlandsch Woodenboek II, Pada masa kerajaan Aceh, federasi Kaway XII
merupakan sebuah daerah otonom sendiri yang langsung berada di bawah kekuasaan
Sultan Aceh. Kaway XII merupakan daerah pertambangan emas Kerajaan Aceh yang
dipimpin oleh seorang Keujruen yang disebutKeujreun Meuih, yang bertugas
mengambil hasil emas dan pajak lainnya dari pertambangan emas di dalam wilayah
federasi tersebut.
Pocut Baren lahir dan dibesarkan dalam
suasana peperangan yang membentuk pribadinya menjadi wanita yang tahan terhadap
segala situasi. Sejak kecil ia sudah menghadapi berbagai ujian berat sehingga
membentuk pribadinya menjadi seorang yang kuat, berani dan ulet.
Setelah dewasa, Pocut Baren terlibat langsung
dalam kancah perang melawan Belanda. Ia dengan suka rela meninggalkan kehidupan
mewahnya sebagai seorang putri Uleebalang dengan bergabung bersama pejuang Aceh
lainnya di belantara yang menggelar gerilya melawan Belanda.
H M Zainuddin dalam Srikandi Atjeh,
menggambarkan Baren sebagai wanita yang tahan menderita, sanggup hidup dalam
waktu lama dalam pengembaraannya di gunung-gunung dan hutan belantara.
Pengalaman dan penderitaan hidup seperti itu ia jalani semasa berjuang dengan
Cut Nyak Dhien.
Pocut Baren juga digambarkan sebagai wanita
yang berwatak pemberani, tangguh dan ulet yang menjadi modalnya dalam
perjuangan. Ia disegani oleh teman-teman dan pengikutnya, serta ditakuti oleh
musuh-musuhnya. Sebagaimana diakui oleh Doup salah seorang bekas marsose di
Aceh dalam bukunya Gadenk Book va Het Korps Marechaussee.
Pocut Baren berjuang sejak masa muda, sejak
Cut Nyak Dhien memimpin sendiri gerakan perlawanannya terhadap Belanda setelah
suami keduanya, Teuku Umar meninggal pada 11 Februari 1899. Pocut Baren
menunjukkan kesetiaannya pada Cut Nyak Dhien, baik dalam perlawanan terhadap
Belanda, maupun pengembaraan bersama dari satu tempat ke tempat lain.
Pengalaman bertempur yang diperoleh ketika
bersama Cut Nyak Dhien mempertegar pendiriannya dalam melawan Belanda, terutama
ketika memimpin sendiri pasukannya. Pendiriannya semakin teguh ketika suaminya,
Keujruen Game tewas dalam sebuah pertempuran dengan Belanda.
Ia menghimpun kembali pasukannya,
memobilisasi penduduk di Kaway XII untuk meneruskan perjuangan yang lebih
agresif. Sebaliknya, Belanda juga melakukan pengejaran terhadap pasukan Pocut
Baren secara lebih intensif.
Setelah pasukan dapat diatur kembali, Pocut
Baren melakukan konsolidasi dan mengatur strategi dalam upaya melakukan
penyerangan terhadap Belanda. Ia membangun sebuah benteng di Gunong Macan
sebagai pusat pertahanannya. Dari benteng inilah segera penyerangan terhadap
tangsi militer Belanda dan penyergapan terhadap patroli-patroli pasukan
Belanda.
Menurut H C Zentgraff dalam buku Atjeh,
Belanda sangat merasa kesukaran dalam menghadapi siasat perang Pocut Baren.
Sehingga untuk memburu perempuan tangguh itu, Belanda menambah pasukannya
dengan mendatangkan serdadu dari luar daerah, serta membangun tangsi di Kuala
Bhee dan Tanoh Mirah.
Dari dua tangsi itulah pasukan Belanda
digerakkan untuk memburu pasukan Pocut Baren. Tapi pengejaran itu tak
membuahkan hasil. Malah Pocut Baren yang lebih sering melakukan penyerangan terhadap
tangsi-tangsi Belanda, baik yang berada di Tanoh Mirah maupun di Kuala Bhee.
Seusai melakukan penyerangan, pasukan Pocut Baren kembali ke pusat
pertahanannya di Benteng Gunong Macan. Penyerangan seperti itu dilakukan
bertahun-tahun oleh Pocut Baren.
Tentang hal itu Zentgraff menulis, “Begitulah
selama bertahun-tahun ia hidup dalam pertempuran yang diselingi jeda sejenak ke
tempat-tempat yang jauh terpencil yang belum lagi didatangi kompeni, masih
merupakan masa yang menyenangkan baginya. Cara bertempur seperti ini, dimana
Anda berhenti dulu kalau merasa bosan bertempur. Masa-masa menyenangkan akan
segera berakhir setelah marsose mulai melakukan pembersihan di daerah pesisir
barat tersebut. Penghidupan berubah menjadi suatu yang menyulitkan dengan segala
perburuan dan penyergapan yang dilakukan. Namun, ia menerima segala risiko
tersebut dan ia senantiasa melawan dengan layaknya. Ia selalu bergerak sangat
cepat dan berkuasa setaraf dengan laki-laki yang paling kuat.”
Dalam catatan Doup (1940:204) Pocut Baren
melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910. Ia
memimpin sendiri pasukannya setelah Cut Nyak Dhien tertangkap pada 4 November
1905. Namun, betapa pun mobilitas dan kuatnya pertahanan, Belanda terus
melakukan pengejaran. Kelemahan di bidang persenjataan yang tidak berimbang
dengan persenjataan yang dimiliki Belanda menjadi faktor yang menyebabkan Pocut
Baren tidak dapat bertahan dalam waktu lama.
Suatu ketika Belanda melakukan penyerangan
terhadap benteng Gunong Macan. Penyerangan itu dilakukan di bawah pimpinan
Letnan Hoogers yang diberangkatkan dari Kuala Bhee. Mereka menggempur benteng
pertahanan Pocut Baren dengan dahsyat. Pocut Baren bersama pasukannya melakukan
perlawan yang sengit. Dalam pertempuran itu, kaki Pocut Baren tertembak dengan
luka yang cukup parah. Karena luka itulah, ia ditawan oleh Belanda dan dibawa
ke Meulaboh sebagai tawanan lalu dibawa ke Kutaraja untuk pengobatan.
Luka kakinya bertambah parah, hingga tak
dapat diobati lagi. Tim dokter yang merawatnya terpaksa melakukan amputasi kaki
Pocut Baren. Selama di Kutaraja Pocut Baren diperlakukan sebagaimana layaknya
tawanan perang dan seorang Uleebalang. Masa-masa di Kutaraja merupakan masa
penantian yang sangat panjang, masa penantian keputusan hukuman yang akan
dijatuhkan Belanda terhadapnya.
Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh, Van
Daalen memutuskan hukuman buang ke Pulau Jawa terhadap wanita perkasa ini.
Mendengar putusan itu, seorang perwira penghubung Belanda, T J Veltman,
menyampaikan saran kepada Van Daalen agar Pocut Baren tidak dibuang ke Pulau
Jawa, melainkan dikembalikan ke daerahnya untuk melanjutkan kembali
kepemimpinannya sebagai Uleebalang. Saran Veltman itu diterima oleh Van Daalen.
Dengan dikembalikannya Pocut Baren ke kampung
halamannya, maka berakhirlah perlawanan wanita itu. Perlawanan yang pernah
sangat menyulitkan Belanda. Banyak perwira Belanda silih berganti didatangkan
untuk memburu pasukan Pocut Baren, sebagaimana diakui oleh Doup dalam Gadenk
Book va Het Korps Marechaussee.
Dalam buku itu Doup menulis. “Para pemimpin
patroli pemburu Pocut Baren adalah tokoh-tokoh Belanda terkemuka dan terkenal
amat berpengalaman dalam peperangan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita itu
memang dianggap sebagai lawan tangguh bagi Belanda. Mereka antara lain adalah
Kapten TJ Veltman, Kapten A Geersema Beckerrigh, Kapten F Daarlang, Letnan JHC
Vastenon, Letnan OO Brewer, Letnan W Hoogers, Letnan AH Beanewitz, Letnan HJ
Kniper, Letnan CA Reumpol, Letnan Wvd Vlerk, Letnan WL Kramers, Letnan H
Scheurleer, Letnan Romswinkel, Sersan Duyts, Sersan De Jong, Sersan
Gackenstaetter, Sersan Teutelink, Sersan van Daalen, dan Sersan Bron.
Setelah kaki Pocut Baren dianggap sembuh dan
diyakini oleh Belanda ia tidak akan melakukan perlawanan lagi, Pocut Baren
dikirim kembali ke Teungkop. Veltman telah memberikan jasa baiknya kepada
wanita pejuang itu. Ia juga yang mengusulkan agar status Pocut Baren sebagai
Uleebalang Teungkop dikembalikan, dan namanya direhabilitasi.
Veltman yang fasih berbahasa Aceh, secara
berkala terus melakukan komunikasi dengan Pocut Baren, sehingga perwira Belanda
itu dapat membuat laporan mengenai perubahan yang terjadi pada Pocut Baren. Ia
wanita yang suka berterus terang, suatu sikap yang amat dihargai oleh Veltman.
Karena itulah Pocut Baren dikenal sebagai pejuang yang dapat menghormati
musuhnya karena kebaikannya.
Meski telah menghentikan perjuangan
bersenjata, Pocut Baren sebagai Uleebalang tetap berjuang untuk kemakmuran
rakyatnya di Teungkop. Ia membangun negerinya menjadi sebuah negeri yang
makmur, ia membangkitkan semangat rakyatnya untuk bekerja keras.
Sawah-sawah yang sebelumnya ditinggalkan
karena peperangan, digarap kembali. Ia menginginkan tak satu petak sawah pun
terlantar. Ia juga menyerukan agar kebun-kebun yang kosong ditanami dengan
tanaman yang bernilai ekonomis tinggi. Ia selalu menegur bila ada rakyatnya
yang malas.
Letnan H Scheurleer komandan Belanda di bivak
Tanoh Mirah merangkap penguasa sipil di sana, melaporkan bahwa Pocut Baren benar-benar
telah berusaha sungguh-sungguh menciptakan ketertiban, keamanan dan kemakmuran.
Pocut Baren tidak hanya dikenal sebagai
pejuang yang tangguh, tapi juga pemimpin rakyat dan penyair. Di dalam tubuhnya
mengalir darah seni yang kental. Pada saat-saat beristirahat dari kesibukannya
sebagai pemimpin pemerintahan, ia mengenang peristiwa-peristiwa yang pernah
dilaluinya semasa peperangan melawan Belanda.
Mengenang semua itu, ia menciptakan
pantun-pantun, syair dan ungkapan hatinya dalam sajak. Salah satu syair yang
pernah didendangkannya adalah Krueng Woyla. Ia menulisnya ketika mengenang
kesulitannya dalam peperangan di Woyla. Pocut baren menulis:
Di Krueng Woyla ceukoe likat
Eungkot jilumpat jisangka tuba
Seungat di yup seungat di rambat
Meureuboe Barat buka suara
Bukon sayang itek di kapai
Jitimoh bulee ka sion sapeu
Bukon sayang bilek kutinggai
Teumpat ku tido siang dan malam.
Syair itu dikutip oleh Zentgraaff dalam
bukunya Athjeh. Dalam buku itu Zentgraaff juga menulis. “Pocut Baren sangat
disayangi oleh rakyatnya. Uleebalang yang gagah berani sekaligus sastrawan.
Syair-syair yang diciptakannya sangat digemari. Namun, betapapun besarnya cinta
tetapi tak kuasa melawan takdir, setiap orang akan meninggal, termasuk Pocut
Baren. Hal itulah yang terjadi pada wanita itu pada tahun 1933. Ia meninggal
dunia pada saat itu, meninggalkan rakyat yang mencintainya, yang masih terus
mengenangnya.
PERJALANAN HIDUP POCUT BAREN
Reviewed by Unknown
on
8:34 AM
Rating:

No comments: