
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan
Mansyur Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil (yang merupakan putra dari Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3). Jadi, sebenarnya ayah dan
ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan sama-sama pewaris kerajaan.
Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang
putri dari Kesultanan Pahang, yang lebih dikenal dengan Putroe Phang. Dari
hasil pernikahan ini, Sultan Iskandar Muda dikaruniai dua buah anak, yaitu
Meurah Pupok dan Putri Safiah. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan
dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan
Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya.
Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena
memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang
berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu
sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke Johor dan
Melaka pada 1612 sempat berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai Asahan dan
Silau) untuk bertemu dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar Muda akhirnya
menikahi salah seorang puteri Raja Simargolang yang kemudian dikaruniai seorang
anak bernama Abdul Jalil (yang dinobatkan sebagai Sultan Asahan).
Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta
Kerajaan Aceh pada usia yang terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di
Kerajaan Aceh antara 1607 hingga 1636, atau hanya selama 29 tahun. Kapan ia
mulai memangku jabatan raja menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Namun,
mengacu pada Bustan al-Salatin, ia dinyatakan sebagai sultan pada tanggal 6
Dzulhijah 1015 H atau sekitar Awal April 1607.
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda tersebut
ini dikenal sebagai masa paling gemilang dalam sejarah Kerajaan Aceh
Darussalam. Ia dikenal sangat piawai dalam membangun Kerajaan Aceh menjadi
suatu kerajaan yang Kuat, Besar, dan tidak saja disegani oleh Kerajaan-Kerajaan
lain di nusantara, namun juga oleh dunia luar. Pada masa kekuasaannya, Kerajaan
Aceh termasuk dalam Lima Kerajaan Terbesar di Dunia.
Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar
Muda untuk memperkuat kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang
umumnya diisi dengan tentara-tentara muda. Sultan Iskandar Muda pernah
menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias sejak tahun 1612 hingga
1625.
Sultan Iskandar Muda juga sangat
memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaan. Dalam wilayah kerajaan
terdapat bandar transito (Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang
letaknya sangat strategis sehingga dapat menghubungkan roda perdagangan
kerajaan dengan dunia luar, terutama negeri Barat. Dengan demikian, tentu
perekonomian kerajaan sangat terbantu dan meningkat tajam.
Menurut tradisi Aceh, Sultan Iskandar Muda
membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang dinamakan Ulèëbalang
dan Mukim, ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis bernama
Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama
dan menciptakan bangsawan baru." Mukim
pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid
yang dipimpin oleh seorang Imam (Imeum). Ulèëbalang (Hulubalang) pada awalnya
barangkali bawahan utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa Mukim, untuk
dikelolanya sebagai Pemilik Feodal.
Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki
hubungan yang sangat baik dengan Eropa. Konon, ia pernah menjalin komunikasi
yang baik dengan Inggris, Belanda, Perancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai
contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar Muda pernah menjalin komunikasi yang
harmonis dengan Kerajaan Inggris yang pada saat itu dipegang oleh Ratu
Elizabeth I. Melalui utusannya, Sir James Lancester, Ratu Elizabeth I memulai isi
surat yang disampaikan kepada Sultan Iskandar Muda. Berikut cuplikan isi surat
Sultan Iskandar Muda, yang masih disimpan oleh pemerintah sampai saat ini,
tertanggal tahun 1585 :
"I am the mighty ruler of the Regions
below the wind, Who holds sway over the land of Aceh and over the land of
Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the
sunrise to the sunset."
Artinya:
"Hambalah sang Penguasa Perkasa
Negeri-Negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas Tanah Aceh dan atas Tanah
Sumatra dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang
terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam"
Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah
Ulama besar. Di antaranya adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di Kerajaan
Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai penguasa
dan ulama yang saling mengisi proses perjalanan roda pemerintahan.
Hubungan tersebut diibaratkan "Adat bak
Peutoe Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala " ( Adat di bawah kekuasaan
Sultan, Kehidupan hukum beragama di bawah keputusan Tuan Syiah Kuala). Sultan
Iskandar Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat terkenal pada saat
itu, yaitu Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani. Kedua
ulama ini juga banyak mempengaruhi kebijakan Sultan. Kedua merupakan sastrawan
terbesar dalam sejarah nusantara.
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits –
pendiri Dinasti Oranje Belanda juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta
bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan
mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh
Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang
Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul
Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di
Belanda dengan dihadiri oleh para Pembesar - Pembesar Belanda. Namun karena
orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan
dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau
terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran
Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Sultan Iskandar Muda mengirim utusannya untuk
menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat
itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh
terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi
sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya
ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada
Sicupak atau Lada sekarung.
Namun Sang Sultan menyambut baik hadiah itu
dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang
untuk membantu Kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini
dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman
mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Iskandar Muda.
Saat itu Kerajaan Aceh juga menerima
kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula
bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Iskandar
Muda. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka
mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi Sang Sultan. Dalam
bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari
benda-benda berharga.
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan
satu-satunya Kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di
dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh
luasnya tak kurang dari Dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana
Daruddunya (Kini Meuligo Aceh, Kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan
Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan
Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh
hingga mengaliri istananya (Sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat,
mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah Sultan acap kali berenang
sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Sultan Iskandar Muda meninggal di Aceh pada
tanggal 27 Desember 1636, dalam usia yang terbilang masih cukup muda, yaitu 43
tahun. Oleh karena sudah tidak ada anak laki-lakinya yang masih hidup, maka
tahta kekuasaanya kemudian dipegang oleh menantunya, Sultan Iskandar Thani
(1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Tani wafat tahta kerajaan kemudian
dipegang janda Iskandar Tani, yaitu Sultanah Tajul Alam Syafiatudin Syah atau
Puteri Safiah (1641-1675), yang juga merupakan puteri dari Sultan Iskandar
Muda.
Sultan Iskandar Muda merupakan pahlawan
nasional yang telah banyak berjasa dalam proses pembentukan karakter yang
sangat kuat bagi nusantara dan Indonesia. Selama menjadi raja, Sultan Iskandar
Muda menunjukkan sikap Anti-kolonialisme-nya. Ia bahkan sangat tegas terhadap
kerajaan-kerajaan yang membangun hubungan atau kerjasama dengan Portugis,
sebagai salah satu penjajah pada saat itu.
Sultan Iskandar Muda mempunyai karakter yang
sangat tegas dalam menghalau segala bentuk dominasi kolonialisme. Sebagai
contoh, Kurun waktu 1573-1627 Sultan Iskandar Muda pernah melancarkan jihad
perang melawan Portugis sebanyak 16 kali, meski semuanya gagal karena kuatnya
benteng pertahanan musuh. Kekalahan tersebut menyebabkan jumlah penduduk turun
drastis, sehingga Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan untuk menarik
seluruh pendudukan di daerah-daerah taklukannya, seperti di Sumatera Barat,
Kedah, Pahang, Johor dan Melaka, Perak, serta Deli, untuk migrasi ke daerah
Aceh inti.
Pada saat berkuasa, Sultan Iskandar Muda
membagi aturan hukum dan tata negara ke dalam Empat bidang yang kemudian
dijabarkan secara praktis sesuai dengan tatanan kebudayaan masyarakat Aceh.
Pertama: bidang Hukum yang diserahkan kepada
Syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil. Hukum merupakan asas tentang jaminan
terciptanya keamanan dan perdamaian. Dengan adanya hukum diharapkan bahwa
peraturan formal ini dapat menjamin dan melindungi segala kepentingan rakyat.
Kedua: bidang Adat yang diserahkan kepada
kebijaksanaan Sultan dan Penasehat. Bidang ini merupakan perangkat
undang-undang yang berperan besar dalam mengatur tata negara tentang martabat
hulu balang dan pembesar kerajaan.
Ketiga: bidang Resam yang merupakan urusan
Panglima. Resam adalah peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan)
dan diimpelentasikan melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap
peraturan yang tidak diketahui kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan
secara gotong-royong.
Keempat: bidang Qanun yang merupakan
kebijakan Maharani Putro Phang sebagai permaisuri Sultan Iskandar Muda. Aspek
ini telah berlaku sejak berdirinya Kerajaan Aceh.
Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja
yang sangat tegas dalam menerapkan Syariat Islam. Ia bahkan pernah melakukan
Rajam terhadap puteranya sendiri, yang bernama Meurah Pupok karena melakukan
perzinaan dengan istri seorang perwira.
Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan
kebijakan tentang pengharaman riba. Tidak aneh jika kini Nanggroe Aceh
Darussalam menerapkan Syariat Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada
sejak zaman dahulu kala. Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai Tasawuf.
Sultan Iskandar Muda pernah berwasiat agar
mengamalkan Delapan Perkara, Sang Sultan berwasiat kepada para Wazir,
Hulubalang, Pegawai, dan Rakyat di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, agar selalu ingat kepada Allah Ta'ala dan memenuhi janji yang
telah diucapkan.
Kedua, jangan sampai para Raja menghina Alim Ulama dan Ahli Bijaksana.
Ketiga, jangan sampai para Raja percaya terhadap apa yang datang dari
pihak musuh.
Keempat, para Raja diharapkan membeli banyak senjata. Pembelian senjata
dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan dan pertahanan kerajaan dari
kemungkinan serangan musuh setiap saat.
Kelima, hendaknya para raja mempunyai sifat Pemurah (turun tangan). Para
raja dituntut untuk dapat memperhatikan nasib rakyatnya.
Keenam, hendaknya para raja menjalankan hukum berdasarkan Al-Qur‘an dan
Sunnah Rasul.
Ketujuh, di samping kedua sumber tersebut, sumber hukum lain yang harus
dipegang adalah Qiyas dan Ijma‘.
Kedelapan, baru kemudian berpegangan pada Hukum Kerajaan , Adat ,
Resam, dan Qanun.
Wasiat-wasiat tersebut mengindikasikan bahwa
Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin yang saleh, bijaksana, serta
memperhatikan kepentingan Agama, Rakyat, dan Kerajaan.
Hamka melihat kepribadian Sultan Iskandar
Muda sebagai pemimpin yang saleh dan berpegangan teguh pada prinsip dan syariat
Islam. Tentang kepribadian kepemimpinannya, Antony Reid melihat bahwa Sultan
Iskandar Muda sangat berhasil menjalankan kekuasaan yang otoriter,
sentralistis, dan selalu bersifat ekspansionis. Karakter Sultan tersebut memang
banyak dipengaruhi oleh sifat kakeknya. Kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Aceh
pada saat itu memang tidak luput dari karakter kekuasaan monarkhi karena model
kerajaan berbeda dengan konsep kenegaraan modern yang sudah demokratis.
Surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja
Inggris King James I, Pada tahun 1615 merupakan salah satu karyanya yang
sungguh mengagumkan. Surat (manuskrip) tersebut berbahasa Melayu, dipenuhi
dengan hiasan yang sangat indah berupa motif-motif kembang, tingginya mencapai
satu meter, dan konon katanya surat itu termasuk Surat Terbesar Sepanjang
Sejarah. Surat tersebut ditulis sebagai bentuk keinginan kuat untuk menunjukkan
kepada Dunia internasional betapa pentingnya Kerajaan Aceh Darussalam sebagai
Kekuatan Utama di Dunia.
Melalui Surat Keputusan Presiden RI No.
077/TK/ Tahun 1993 tanggal 14 September 1993, Sultan Iskandar Muda dianugerahi
gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah RI serta mendapat tanda kehormatan
Bintang Mahaputra Adipradana (Kelas II). Sebagai wujud pernghargaan terhadap
dirinya, nama Sultan Iskandar Muda diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah
daerah di Tanah Air, Nama Sultan telah di Abadikan sebagai Kapal Perang KRI
Sultan Iskandar Muda, Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda dan Kodam
Iskandar Muda Nanggroe Aceh Darussalam.
SEJARAH HIDUP SULTAN ISKANDAR MUDA
Reviewed by Unknown
on
6:45 AM
Rating:

No comments: