Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan
Islam dan mengalami kejayaan pada masa pemerintahan sultan iskandar muda.
Perkembangan pesat yang dicapai Kerajaan Aceh tidak lepas dari letak
kerajaannya yang strategis, yaitu di pulau Sumatera bagian utara dan dekat
jalur perdagangan internasional pada masa itu. Ramainya aktivitas pelayaran
perdagangan melalui bandar-bandar perdagangan Kerajaan Aceh, mempengaruhi
perkembangan kehidupan kerajaan Aceh dalam segala bidang, seperti aspek
kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Kerajaan Aceh dirintis oleh Mudzaffar Syah
pada abad ke-15 M. Pusat kerajaan dibangun diatas puing-puing kerajaan Lamuri,
seberah barat samudera Pasai. Status kerajaan penih diraih semasa pemerintahan
Ali Mughayat Syah sebagai hasil penyatuan dua kerajaan, yakni Lamuri dan Dar
al-Kalam.
Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan
Islam dan mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Perkembangan pesat Kerajaan Aceh tidak dapat terlepas dari letak kerajaan Aceh
yang strategis, yaitu di pulau Sumatera bagian utara dan dekat jalur pelayar
dan perdagangan internasioanal pada saat itu. Ramainya aktivitas pelayaran dan
perdagangan melalui Bandar perdagangan kerajaan Aceh mempengaruhi perkembangan
kehidupan kerajaan Aceh dalam segala bidang. Seperti di bidang politik, sosial,
ekonomi, dan kebudayaan. Kerajaan Aceh yang terletak di ujung barat pulau
Sumatera pernah diperintah oleh raja-raja berikut ini:
1. Sultan Ali Mughayat Syah
Ali Mughayat Syah adalah raja pertama
kerajaan Aceh. Ia memerintah dari tahun 1514-1528 M. dibawah kekuasaannya
Kerajaan Aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang berada di wilayah
Sumatera Utara, seperti di daerah Daya dan Pasai. Bahkan ia mengadakan serangan
terhadap kedudukan Portugis di Malaka serta menyerang kerajaan Aru.
2. Sultan Salahudin
Setelah Sultan Ali Mughayat Syah meninggal,
pemerintahan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Sultan Salahudin. Ia
memerintah dari tahun 1528-1537 M. selama berkuasa, Sultan Salahudin kurang
memperhatikan kerajaannya. Akibatnya, kerajaaan mulai goyah dan mengalami
kemunduran oleh sebab itu pada tahun 1537 M sultan Salahudin digantikan
saudaranya yang bernama Sultan Alaudin Riayat Syah.
3. Sultan Alaudin Riayat Syah
Sultan Alaudin Riayat Syah memerintah Aceh
sejak tahun 1537-1568 M. dibawah pemerintahannya Aceh berkembang menjadi Bandar
utama di Asia bagi pedagang Muslim mancanegara. Sejak Malaka direbut Portugis,
mereka menghindari selat Malaka dan beralih menyusuri pesisir Barat Sumatera,
ke selat Sunda, lalu terus ke timur Indonesia atau langsung ke Cina. Kedudukan
strategis Aceh menjadikan sevagai Bandar transit lada dari Sumatera dan
rempah-rempah dari Maluku. Kedudukan itu bukan tanpa hambatan. Aceh harus
menghadapi rongrongan Portugis. Guna memenangkan persaingan, Aceh membangun
angkatan laut yang kuat. Kerajaan itupun membina hubungan diplomatic dengan
turki ottoman yang dianggap memegang kedaulatan Islam tertinggi waktu itu.
4. Sultan Iskandar Muda
Pemerintahan Sultan Iskandar Muda menandai
puncak kejayaan kerajaan Aceh. Ia naik tahta pada awal abad ke-17 menggantikan
Sultan Alaudin Riayat Syah. Untuk memperkuat kedudukan Aceh sebagai pusat
perdagangan Ia memelopori sejumlah tindakan sebagai berikut.
Sultan Iskandar Muda merebut sejumlah pelabuhan penting di pesisir barat dan timur Sumatera, serta
pesisir barat semenanjung melayu. Misalnya Aceh sempat menaklukan Johor dan
Paahang
Sultan Iskandar Muda menyerang kedudukan Portugis di Malaka dan
kapal-kapalnya yang melalui selat Malaka. Aceh sempat memenangkan perang
melawan armada Portugis di sekitar pulau Bintan pada tahun 1614.
Sultan Iskandar Muda bekerjasama dengan Inggris dan Belanda untuk
memperlemah pengaruh Portugis. Iskandar Muda mengizinkan persekutuan dagang
kedua di negara itu untuk membuka kantornya di Aceh.
5. Sultan Iskandar Thani
Berbeda dengan pendahulunya, Sultan Iskandar
Thani lebih memperhatikan pembangunan dalam negeri dari pada politik ekspansi.
Oleh sebab itu, meskipun hanya memerintah selama 4 tahun, Aceh mengalami
suasana damai. Hukum yang berdasarkan syariat Islam ditegakkan, bukannya
kekuasaan yang sewenang-wenang. Hubungan dengan wilayah taklukkan dijalan
dengan suasana liberal, bukan tekanan politik atau militer.
Masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani juga
ditandai oleh perhatian terhadap studi agama Islam. Berkembangnya studi Agama
Islam turut didukung oleh Nuruddin Arraniri, seorang ulama besar dari Gujarat
yang menulis buku sejarah Aceh yang berjudul Bustanu’s Salatin. Sepeninggalan
Iskandar Thani, Aceh mengalami kemunduran. Aceh tidak mampu berbuat banyak saat
sejumlah wilayah taklukan melepaskan diri. Kerajaan itupun tidak mampu lagi
berperan sebagai pusat perdagangan. Meskipun demikian, kerajaan Aceh tetap
berlanjut sampai memasuki abad ke-20.
Karena letaknya di jalur lalu lintas
pelayaran dan perdagangan selat Malaka, kerjaan Aceh menitik beratkan
perekonomiannnya pada bidang perdagangan. Dibawah pemerintahan sultan alaudin
riayat syah, Aceh berkembang menjadi Bandar utama di Asia bagi para pedagang
mancanegara, buakan hanya bangsa Inggris dan Belanda yang berdagang di
pelabuhan Aceh, melainkan juga bangsa asing lain seperti arab, Persia, turki,
india, syam, cina, dan jepang.
Barang yang diperdagangkan dari Aceh, antara
lain lada, beras, timah, emas, perak, dan rempah-rempah (dari Maluku). Orang
yang berasal dari mancanegara (impor), antara lain dari Koromandel (India),
Porselin dan sutera (Jepang dan Cina), dan minyak wangi dari (Eropa dan Timur
Tengah). Selain itu, kapal pedagang Aceh aktif dalam melakukan perdagangan
sampai ke laut merah.
Struktur sosial masyarakat Aceh terdiri atas
empat golongan, yaitu golongan teuku (kaum bangsawan yang memegang kekuasaan
pemerintahan sipil), golongan tengku (kaum ulama yang memegang peranan penting
dalam keagamaan), hulubalang atau ulebalang (para prajurit), dan rakyat biasa.
Antara golongan Tengku dan Teuku sering terjadi persaingan yang kemudian
melemahkan Aceh.
Sejak kerajaan Perlak berkuasa (abad ke-12 M
sampai dengan abad ke-13 M) telah terjadi permusuhan antara aliran Syi’ah dan
Ahlusunnah wal jamaaah. Namun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda,
aliran Syi’ah mendapat perlindungan dan berkembang ke daerah kekuasaan Aceh.
Aliran itu diajarkan Hamzah Fansuri dan dilanjutkan oleh muridnya yang bernama
Syamsuddin Pasai. Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, aliran Ahlusunnah wal
jamaah berkembang dengan pesat di Aceh.
Kehidupan budaya di kerajaan Aceh tidak
banyak diketahui karena kerajaan Aceh tidak banyak meninggal banda hasil
budaya. Perkembangan kebudayaan di Aceh tidak terpusat perkembangan
perekonomian. Perkembangan kebudayaan yang terlihat nyata adalah bangunan
masjid Baiturrahman dan buku Bustanu’s Salatin yang ditulis oleh Nurrudin
Ar-raniri yang berisi tentang sejarah raja-raja Aceh.
Penyebab kemunduran kerajaan Aceh:
Setelah Iskandar muda wafat tahun 1636, tidak ada raja-raja besar yang
mampu mengendalikan daerah Aceh yang demikian luas. Dibawah sultan iskandar
thani, sebagai pengganti sultan iskandar muda, kemunduran itu mulai terasa dan
terlebih lagi setelah meninggalnya sultan iskandar thani.
Timbulnya pertikaian yang terus menurus di Aceh antara golongan
bangsawan (Teuku) dengan golongan ulama (Tengku) yang mengakibatkan melemahnya
kerajaan Aceh. Antara golongan ulama sendiri pertikaian karena perbedaan aliran
dalam agama.
Daerah-daerah kekuasaannya banyak yang melepaskan diri seperti Johor,
Pahang, Perak, Minang Kabau, dan Siak. Negara-nagara itu mendirikan daerahnya
sebagai negara merdeka kembali, kadang-kadang dibantu oleh bangsa Asing yang
menginginkan keuntungan perdagangan yang lebih besar.
Kerajaan Aceh berkuasa lebih kurang 4 abad,
akhirnya runtuh karena dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-20
SEJARAH KERAJAAN ACEH
Reviewed by Unknown
on
11:03 PM
Rating:
No comments: