Masjid Indrapurwa berdiri gagah di kaki bukit
Lampague, sekira 400 meter dari bibir pantai. Dibangun di atas reruntuhan pura
sisa Kerjaan Hindu Aceh ratusan tahun silam, masjid tersebut menyimpan sejarah
panjang Serambi Makkah.
![]() |
Mesjid Indrapurwa Di Provinsi Aceh |
Masjid Indrapurwa yang terletak di Gampong
Lambadeuk, Kemukiman Lampague, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar,
merupakan salah satu masjid tertua di Aceh. Masjid tersebut sempat lenyap
disapu tsunami pada 2004, kemudian dibangun kembali sebagai pusat aktivitas
agama dan sosial masyarakat setempat.
Indrapurwa adalah satu dari tiga Kerajaan
Hindu yang menguasai Aceh sebelum masuknya Islam. Dua lainnya adalah Indrapatra
di Ladong, Kecamatan Krueng Raya, dan Kerajaan Indrapuri di Kecamatan Indrapuri,
Aceh Besar. Ketiga kerajaan ini membentuk segi tiga Aceh atau Aceh Lhee Sagoe.
Sebuah riwayat menyebut, Masjid Indrapurwa
dibangun seangkatan dengan Masjid Indrapuri pada masa Sultan Iskandar Muda
memimpin Kerajaan Aceh Darussalam pada periode 1607-1636 M.
Serupa dengan Masjid Indrapuri, Masjid
Indrapurwa juga dibangun di atas pertapakan reruntuhan pura, tempat peribadatan
umat Hindu Kerajaan Lamuri.
Lamuri adalah cikal bakal Kerajaan Aceh
Darussalam. Pura yang menjadi pondasi masjid ini diperkirakan dibangun sekira
abad X.
Ketika Islam mulai berkembang di Aceh,
Kerajaan Hindu Lamuri takluk dan berganti dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Raja
Ali Mughayat Syah yang sudah masuk Islam, dinobatkan sebagai sultan pertama
yang berkuasa dari 1496 hingga 1528 M. Rakyatnya kemudian ramai-ramai memeluk
Islam, sejumlah pura yang ada pun diruntuhkan.
Konon, Sultan Iskandar Muda yang terkenal
adil dan berwibawa membangun masjid ini di atas reruntuhan pura agar
pertapakannya tak mubazir. Terlebih lagi Islam maju pesat pada masanya
berkuasa.
Menurut Keusyik (Kepala Desa) Lambadeuk,
Faisal Mahmud, Masjid Indrapurwa awalnya terletak di Gampong Lambaro Kemukiman
Lampague yang kini sudah menjadi laut atau dekat Pulau Tuan. Pulau Tuan sendiri
masih jelas terlihat sekira tiga kilometer dari bibir Pantai Lambadeuk.
Karena tergerus abrasi, Masjid Indrapurwa
kemudian dipindah dari pertapakan semula, ratusan meter dari bibir pantai
sehingga sisa pura yang menjadi pondasi awal masjid kini tak terlihat lagi.
Makam-makam Hindu yang dulu ada di sekitarnya juga sudah lenyap ditelan laut.
“Setahu saya dari cerita orang-orang dulu,
masjid ini sudah empat kali dilakukan pemindahan karena digerus abrasi laut.
Digeser-geser ke belakang hingga terakhir masuk ke Lambadeuk,” jelas Faisal.
Sayangnya tak ada catatan pasti tahun berapa
pemindahan dilakukan. Ketika dipindah hingga ke Lambadeuk, bangunan masjid
diyakini tetap mengikuti gaya dan arsitektur lamanya yang penuh nilai seni
Hindu, beratap dua mengerucut ke atas, berdinding papan, dan pondasinya terbuat
dari beton.
Di dalamnya ada mimbar kuno berukuran 2,5
meter, yang terbuat dari kayu bermutu tinggi, bentuknya berciri khas Hindu.
Pintu dan puncak mimbar mengerucut dipenuhi ukiran dekorasi bunga-bunga berciri
khas perpaduan Persia dan Hindu.
Sekelilingnya juga ada ukiran kaligrafi
disertai angka Arab bertuliskan 1276 H. Tahun hijriah yang setara dengan 1858 M
itu diyakini sebagai tahun pembuatan mimbar tersebut.
Di belakang masjid, selain ada kolam untuk
berwudhu, juga ada sebuah peudana (Guci) kuno peninggalan Hindu. Air yang ada
dalam guci itu dipercaya keramat. Warga yang berkunjung atau melepas nazar di
masjid ini percaya membasuh muka dan kaki dengan air dalam guci ini, membawa
berkah.
Air bekas menyucikan diri ini tertampung pada
lubang yang dikorek rapi di lantai. Air dari dalam lubang itu juga sering
diambil warga untuk membasuh mata karena dipercaya bisa menyehatkan indera
pengelihatan.
Selain itu, tutur Faisal, di dalam masjid ini
juga tersimpan sejumlah kitab-kitab kuno dan piring-piring keramik peninggalan
Kerajaan Indrapurwa. Piring-piring tersebut sering digunakan saat ada ritual
kenduri di masjid.
Karena jumlah penduduk yang terus bertambah,
masjid ini tak mampu lagi menampung jamaah. Menurut Faisal, pada 1990-an, warga
membangunan masjid berkonstruksi beton di sampingnya, tanpa mengganggu bangunan
asli. Aktivitas seperti Salat Jumat atau salat berjamaah lima waktu dipusatkan
di bangunan baru.
Namun, musibah datang pada Minggu, 26
Desember 2004. Gelombang tsunami setinggi sembilan meter meratakan bangunan
masjid dan melenyapkan semua peninggalan sejarah di dalamnya. Rumah warga di
sekitarnya ikut rata dengan tanah.
Sekira 600 orang warga Lambadeuk menjadi
korban dalam musibah ini. “Dari sekitar 900 orang penduduk saat itu, hanya
sekitar 300 yang selamat,” ujar Faisal.
Tak ada lagi kitab kuno, guci, piring-piring
keramik dan tongkat khatib yangterbuat dari kayu hitam peninggalan Kerajaan
Indrapurwa. Satu-satunya yang tersisa dari amuk laut adalah mimbar. Mimbar ini
ditemukan tercampak di kaki bukit Lampague hampir satu kilometer dari
pertapakan masjid. Kondisinya tak lagi utuh. Warga kemudian memperbaikinya
untuk mempertahankan jejak sejarah Indrapurwa.
“Anda bisa lihat kayu yang kami gunakan
sangat jauh berbeda dengan kayu bawaannya yang hitam mengkilap. Itu kayu zaman
dulu yang tidak bisa kami temukan lagi sekarang. Kualitasnya sangat bagus,”
tukasnya.
Masjid Indrapurwa dibangun kembali oleh
Jepang dengan konstruksi beton setahun pascatsunami. Bentuk dan arsitekturnya
mengikuti gaya modern, tak lagi mengadopsi gaya lama yang berciri khas Indra.
Di sudut pagar masjid didirikan tugu setinggi
sembilan meter untuk menggambarkan ketinggian gelombang tsunami di sana. Di
sampingnya ada sebuah prasasti yang berisi profil singkat Masjid Indrapurwa,
tertulis dalam bahasa Aceh, Indonesia, dan Inggris
SEJARAH MESJID INDRAPURWA DI PROVINSI ACEH
Reviewed by Unknown
on
6:45 AM
Rating:

No comments: